Bulan puasa, anak-anak tidak sekolah, mungkin saja tidak pesantren
Kalau dipikir-pikir, boleh lah kita ini bersedih. Iya bersedih! Padahal dahulu anak-anak kita di "halau" ke surau, untuk belajar mengaji, sekarang dilarang ke surau demi menjaga kesehatan agar terhindar dari wabah penyakit.
Namanya juga anak-anak. Kalau disuruh ini, mereka pasti kerjakan, kalau disuruh itu mereka juga pasti lakukan. Tapi tak ada yang tahu apa yang mereka inginkan? Sudahkah senang mereka berdiam diri di rumah, dikurung dengan gedget atau berkumpul dengan teman-teman. Belum tentu!
Coba lah kita kembali sejenak, pada tahun 90 sampai 2000 an. Persis usia kita seusai anak-anak sekarang. Masih senang berkejar-kejaran, main ke sawah, berenang, menangkap ikan, panjat buah, lompat-lompat.
Walau saat ini kondisinya tak lagi demikian. Diusia kita hal seperti itu luar biasa menyenangkan, kita yakin mereka juga ingin pengalaman yang sama. Sayangnya lingkungan dan kondisi tak lagi mendukung seperti dahulu.
Kembali bernostalgia di zaman sekolah dahulu. Saat menerima rapor. Jika nilai elok kita pulang dengan sumringah. Tapi kalau nilai buruk, enggan pulang, takut dimarahi orang tua. Tapi itu kan hanya sebentar kena marahnya, habis itu kita bisa main lagi.
******
Hari penerimaan rapor itu, bukan hari sembarangan, tapi itu hari spesial, menandakan belajar caturwulan pertama usai, berarti libur panjang. Untung-untung tak dempet dengan bulan Ramadhan. Kalau sudah dempet, kegiatan jadi bertambah dengan pesantren ramadhan.
Jangan ditanya lagi. Anak-anak sudah pasti suka ikut kegiatan tersebut. Bukan karena ceramah agamanya, atau kegiatan mengajinya ataupun shalat berjamaahnya. Jauh dari itu semua, ada kebahagiaan yang mungkin hanya sesama mereka saja yang tahu.
Anak-anak kalau sudah akan dimulai kegiatan pesantren, langsung berlarian ke masjid atau mushalla, ada yang dengan sendal jepit rambut jabrix, celana pendek, ada yang baju kotor, katanya habis main bola. Bagi mereka yang penting daftar nama dahulu, nanti baru menyusul urusan tetek bengek syaratnya.
Hayalan mereka, akan bertemu teman lama satu perguruan mengaji yang sempat terpecah karena beda sekolah. Sudah terbayang akan bercerita apa nanti, akan bermain kemana nanti setelah kegiatan. Sudah banyak list kegiatan dipikiran anak-anak.
Sungguh tak terduga, pesantren jadi pusat sentral anak-anak untuk mengerahkan emosi yang selama ini tertahan.
Kalaulah akan sahur, mereka ambil ember cat lalu dipukul pakai kayu, dan berkata, "sahur, sahur, sahur, sahur," sembari mengelilingi kampung. Mereka tak pernah bosan. Bahkan ada saja kegiatan yang membuat mereka sibuk di bulan ramadhan.
Selesai sahur, kembali ke mushalla, shalat subuh, berebut microfon untuk adzan. Setelah shalat subuh, pulang, bersiap-siap untuk kegiatan pesantren, sampai dzuhur. Tak hayal mereka juga ketiduran di surau. Saat akan berbuka, baru pulang ke rumah masing-masing. Setelahnya, balik lagi ke mushalla untuk tarwih dan catat buku agenda ramadhan.
Ya,,,, kalau dibilang tarwih, tidak juga, orang shalat, mereka berkejar-kejaran dan ribut di luar, ya.. namanya anak-anak. Hiruk pikuk mereka membuat mushalla jadi ramai.
Anak-anak kalau sudah ribut di sekitar surau, biarkan saja. Mau mereka panjat pohon, mau lari-larian biarkan saja. Karena kita dahulu juga pernah di posisi yang sama. Posisi dimana, yang mungkin tahun ini tak lagi dirasakan anak-anak.
Komentar
Posting Komentar