Asa Seorang Tukang Patri, Bertahan Demi Keluarga
Patri Lapuk, Karena Tak Laku, Syaiful Terpaksa Membuangnya
Nasib Syaiful yang kerap disapa Buyung, pemahat patri di Losbaro, Pasarraya Barat Blok B, Padang, menghidupi tujuh orang anaknya dengan berharap upah dari hasil penjualan alat patri, kadang laku, kadang tidak.
MELEWATI gang sempit yang berlokasi di Los Baro, Pasarraya Barat Blok B, Padang. Seorang pemahat patri tengah sibuk membuat sebuah dandang nasi ukuran besar. Dandang tersebut dibentuk dengan bantuan besi besar dan panjang. Sesekali ia mengerang kesakitan lantaran tangannya terjepit besi tersebut. "Aduh tanganku," teriak Syafril, pemahat patri di Los Baro tersebut.
Ia satu satunya pedagang patri di gang tersebut. Tokonya agak gelap, terletak diantara gudang-gudang bekas kebakaran. Tak kan ada yang tahu kalau ada sebuah toko yang buka di tempat itu. Sebab jalan menuju ke sana kotor, becek, gelap serta menakutkan.
Namun Syaiful yang akrab disapa Buyung, betah untuk buka usaha di sana. Katanya hanya tempat tersebut yang dia miliki,walaupun tersembunyi. "Kadang ada yang beli, kadang tidak, bahkan pernah satu hari tak dapat pembeli, "ungkap pria yang tinggal di Tunggulhitam tersebut.
Berprofesi sebagai tukang patri sudah ia lakoni sejak tahun 1991. Dahulu, ungkapnya, tukang patri dibutuhkan untuk memperbaiki dandang nasi, membuat panci dan kotak amal. Namun saat ini sudah mulai berkurang."Orang tak ada lagi yang beli dandang tradisional seperti ini. Sebab pemasak nasi modern sudah banyak, "tuturnya.
Padahal tokonya lengkap menyediakan berbagai macam bentuk alat-alat rumah tangga dari seng dan aluminium, salah satunya dandang pemasak nasi dengan berbagai macam ukuran." Saya juga ada jual gonjong rumah gadang, gayung air dari kaleng, dan kotak amal. Saya juga terima perbaikan dandang yang sudah rusak, dan alat rumah tangga lainnya, termasuk pembuatan kaleng kotak amal, "jelasnya.
Pada hari biasa, yang sering dibeli masyarakat dandang nasi dari aluminium. Harga yang ia tawarkan untuk ukuran besar Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu." Kalau modalnya cuma Rp 100 ribu. Setengah hari saya bisa selesaikan satu dandang, "ujarnya.
Selain itu ia juga menyediakan gonjong atau puncak rumah gadang, dengan desaign yang agak rumit. Bagi Buyung untuk membuatnya tak sulit." Saya dulu pandai buat semua ini, sejak tahun 1985 yang bekerja dengan orang lain, waktu itu gaji saya masih Rp 1000,"tuturnya.
Selain itu, dibulan ramadhan, pria 50 tahun itu, bisa tersedia langsung produk model kotak amal, tanpa harus pesan dahulu. Dengan harga Rp 35 ribu sampai Rp 100 ribu, tergantung kekuatan dari bahannya.
"Kalau barang ini tak terjual, nanti juga lapuk sendiri, kalau sudah lapuk, terpaksa dibuang,"ucapnya.
Katanya, pernah tak berjual beli sama sekali, ia terpaksa cari kerja lain atau mengandalkan hasil dari biaya perbaikan empat hari yang lalu yang baru dibayar hari ini oleh pelanggannya. "Dicukup-cukupkan saja. Kemarin saja cuma satu orang yang beli dagangan saya," imbuhnya.
Untuk menghidupi kelima anaknya yang masih sekolah ia hanya mengandalkan upah dari patri tersebut. "Anak saya 7 orang dua sudah menikah, lima masih dalam tanggungan saya. Kehidupan kami cuma dari sini saja, kalau tak laku, saya ikut orang untuk perbaikan alat rumah tangga, dan toko terpaksa di tutup,"jelasnya.
Ia sampaikan, sebagai tukang patri ia sering kecelakaan saat kerja, terpukul palu kadang kehimpit besi."Sudah biasa saya terpukul palu,"pungkasnya.
Komentar
Posting Komentar