Bagaikan Punduk Merindukan Bulan
Bagaikan punduk merindukan bulan,
itulah yang Asrana rasakan sesaat pria tinggi kurus itu berkata, aku akan
menikah bulan depan. Sekejap darah Asrana berdesir, saat mendengar kabar itu,
perempuan yang kendatinya belum juga melepas masa lajang di usia 29 tahun.
Padahal sudah berkawan lama dia dengan pria yang usianya terpaut 2 tahun lebih
tua darinya. Bahkan sudah cukup dekat, walau hanya sebatas menyapa saat
bersua.
Tentunya Asrana harus menjaga
wibawa sebagai anak baru satu tahun di kantor itu, tidak boleh serta merta berseloroh. Dia itu saudara tertua kawan karibnya yang juga satu kantor dengannya, bahkan yang
mengajarkannya ilmu berbahasa. Sudah dua tahun lebih Asrana memendam rasa, tapi
tak pernah berbalas, entah pria itu tak paham, atau sengaja pura-pura tak tahu.
Tapi Asrana tak pernah mendekatinya ataupun mencari-cari cara untuk berbicara.
Asrana menunggu nasib saja, jika pagi itu elok, beruntung lah dia bisa bersua
sang pujaan hati, kalau nasib siang itu tak baik, tak hadirlah senior itu dalam
pertemuan bersama. Betul-betul pilu. Padahal sudahlah lama menunggu namun
berakhirnya malah dengan orang lain, tak tahu lagi macam apa rasanya, mendengar
kabar pernikahan sang pujaan hati sudah dekat hari. Entah bagaimana nanti
uring-uringannya kala sore itu, apakah menangis di tepi pantai sambil melihat
ombak, atau bermenung di dekat jendela sembari membayangkan waktu Bersama. Getir
betul hakikat cinta Asrana ini. Sudahlah berlelah-lelah mencintai jodoh orang,
sayang terhadap jodoh orang, mendoakan jodoh orang, tapi tak mampu bersama.
Seluruh kemasygulan itu dirasakan Asrana, dan perasaan sedihnya mulai menumpuk.
Tiba-tiba terbesit dipikiran
Asrana, apakah ini teka-teki mencari jati diri, berkelana tanpa tahu apa yang
menanti, setiap bersua orang yang selalu datang dan pergi silih berganti,
kadang disayang, kadangkala dibenci, namun lika liku itu sungguh indah untuk
dijalani, walau terkadang ada rasa senang, dan sepi, tapi bagi Asrana saat ini,
patah hati akan cukup sulit untuk diobati, entah beberapa bulan lagi, atau
bahkan satu tahun lagi bisa kembali seperti sedia kala.
Sudah dekat hari rupanya
pernikahan itu akan dijalani oleh pujaan hati, dan gadis periang itu mulai
kehilangan jati diri, dia sering bermenung, dimanapun menetap, kalau pagi dia
di kantor maka gadis itu melamun di sudut pojok dapur dekat kulkas yang
disebelahnya ada meja dan kursi untuk para rekannya membuat kopi. Kalau dia
berada di restoran, gadis berlesung pipi itu memilih untuk duduk menepi sendiri
di dekat dinding restoran yang berbatasan langsung dengan pemandangan kolam
ikan. Jika dia menelusuri jalan untuk pulang ke rumah, ia mampir di tepi pantai
dekat jalan besar itu. Di sana para pengendara sering beristirahat sejenak
melepas penat. Perempuan penyuka pemandangan senja itu mengasingkan diri,
sampai matahari terbenam. Dia tak sekedar diam berdiri saja, tapi berjalan
menyusuri pantai sembari membayangkan kenangan apa saja yang menyenangkan
pernah dilalui bersama pria yang tak memilihnya itu.
Air matanya menitik, beberapa
kali diseka agar tak tampak kentara betul dia menangis, sebab orang-orang
sedang ramai di sana, kalau ketahuan tentu dia akan malu sendiri. Di sore itu
dia hanya bisa bersenandung, merangkai kata-kata indah, setidaknya itu bisa
mengobati isi hati yang ditinggal sengsara.
“Sudah kepalang tanggung saya
menunggu uda, kalau bisa dihitung entah sudah satu atau dua tahun berlalu, tapi
hanya dianggap adik saja, perempuan selaras apa yang uda minati, kalau saya
lihat-lihat dia juga tak indah nian seperti gadis-gadis lain yang pernah uda
dekati,”ujar Asrana berseloroh di dalam kesendirian.
“Kalau tak enggan dengan saya,
kenapa tak uda katakan sejak awal jika demikian adanya, bukankah uda tahu
persis kalau saya sudah baik selama ini, karena memang ada rasa, tapi uda
pura-pura tak menganggap, hanya untuk memanfaatkan isi kepala saya, biar saya
bisa bantu buat tugas uda kan,”ucapnya membatin.
Tak lama setelahnya adzan maghrib
berkumandang, maka dia mulai meninggalkan peraduan dan bertolak menuju masjid
dekat pantai, mungkin dia hendak mengadu kepada sang pencipta perihal cintanya
yang tertolak. Mulanya dia sudah berniat akan menangis saat
berdoa di surau yang besar itu tapi karena ramainya para jemaah diurungkan niat,
nanti saja, setelah dia sampai di rumah.
Pukul 19.40 WIB, Asrana tiba di
rumah, biasanya dia bergurau dahulu dengan adiknya, atau mengganggu sang adik
yang sedang belajar, tapi kali ini tidak, dia langsung masuk kamar, berberes
lalu melanjutkan ritual galaunya. Tak enak rasanya kalau galau hanya sepi
senyap saja, maka disetel lah lagu Raisa, sealbum lagu pop mengiringi rasa
galaunya, sampai tengah malam, nelangsa betul.
Keesokannya terlihat ada yang
berbeda dari pandangan mata Asrana, kulit sekitar netra nya itu sudah membengkak,
Dari matanya yang sembap, orang pasti bisa menerka kalau itu
akibat tangisan di malam hari, maka dia mengenakan kacamata ke kantor. Di
kantor sudah banyak orang, membahas undangan pernikahan sang pujaan hatinya, mereka
membahas perihal tetek bengek persiapan untuk pergi ke pesta pernikahan, mulai
dari jam berapa hendak berangkat, bersama siapa, akan mengenakan kostum apa,
semua penghuni kantor sibuk bercakap-cakap, namun tak satupun dari rekannya
yang curiga dengan gelagatnya yang suka rewel. Asrana melewati hari itu dengan
uring-uringan, dan malam harinya seperti biasa ditemani lagu Lyodra ia putar
berulang-ulang untuk judul lagu yang sama sampai terlelap.
Hari yang dinanti-nanti itu
akhirnya tiba, semua rekannya sudah bersiap, dan berkumpul di depan gedung kantor,
Mereka bakal bergerak bersama-sama ke pesta, sudah dipetakan segala hal, siapa
yang akan jadi sopir, siapa yang akan pergi dengan motor, dan siang itu mereka
berangkat.
Asrana yang awalnya berniat untuk
tidak pergi, terpaksa ikut lantaran mesti menyetir satu mobil milik kawannya yang
belum berani berkendaraan jauh. Diperjalanan hatinya menebak-nebak apa yang
akan terjadi saat melihat sang pujaan hati bersanding, sejenak ia berusaha mengasah raut
muka , biar tak terlihat kaku dan sedih, jadi selama perjalanan dia
senyum-senyum sendiri, berbicara sendiri, kawannya pun menyangka kalau Asrana sangat
bahagia berpergian bersama.
Sesaat kemudian, mereka
tiba di resepsi pernikahan, hiasan bunga dan ucapan selamat datang
yang terpasang begitu selaras dengan konsep yang indah, sehingga mata yang
memandang ikut terpukau, betul-betul megah. Sebagian kawannya sibuk
memanfaatkan momen dengan berfoto, Ia lebih memilih menjadi fotografer
saja, meskipun sesekali ikut berfoto.
Setelah itu, mereka berangkat
ke gedung pesta, semuanya tampak eksklusif, baik dari segi design tenda
sampai model design pelaminan yang bernuansa silver. Akan tetapi, tidak tampak
sedikit pun wujud sang kekasih di panggung pernikahan itu.
Firasat Asrana mulai tidak baik,
rasa sesak membuat isi kepalanya ingin pecah, matanya berkaca-kaca ketika mendengar
sambutan mempelai, ia enggan untuk melihat ke arah sumber suara, takut kalau
rasa sesaknya semakin kuat. Dia mencoba untuk bersandar di sebuah kursi ujung dekat
pintu keluar yang jauh dari pelaminan, meninggalkan kawan-kawannya yang sibuk
foto sana-sini. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara memanggilnya, sepertinya
dia mengenal suara itu.
“Datang adik rupanya, uda kira
adik tak datang, sudah makan? makan dulu,”bisiknya.
Asrana tersentak mendengar suara tersebut,
seketika membalikkan badan, rupanya bang Akhwal, pria pujaan hati yang ia kira menikah
hari ini. Pria itu mengenakan pakaian melayu dengan ikat pinggang kain silver,
dan peci hitam, betul-betul tampak rapi dan tampan, Dia merasa sangat
senang seketika itu juga, bukan lantaran bersua pujaan hati, tapi tahu
kalau yang menikah itu bukan pria itu.
“Kukira yang menikah itu uda,
rupanya bukan, lantas nama yang diundangan itu nama siapa, kenapa mirip dengan nama
uda?,”ucapnya.
“Itu saudaraku, nama kami memang
mirip, adik tak lihat nama depannya, adik cuma lihat nama belakangnya saja,
kalau nama belakang kami bersaudara sama semua,”ujarnya.
Ada rasa lega yang Asrana rasakan
saat mendengar penjelasan itu, lalu dia bergumam,”kalau uda kapan menikah? bukankah
kakak yang kemarin itu sudah uda lamar?,”
“Tak menjadi aku dengannya, dia
menolak lamaranku, lantaran aku tak sebaik yang dia kira,”tuturnya.
Sudah berasa diawang-awang saja
Asrana mendengar penjelasan itu, setidaknya dia masih ada kesempatan jika
memang menjadi dengan sang pujaan hatinya. Asrana telah berencana untuk
menyatakan perasaannya kepada pujaan hatinya esok hari. Begitu sampai di rumah,
dia mempersiapkan mental dan kata-kata yang akan ia utarakan besok. Berbagai
macam artikel di media sosial tentang mengutarakan perasaan ia baca, semuanya
pun sudah rampung.
Sesampai di kantor, Asrana mulai
menunggu kedatangan Akhwal, tapi pria itu belum juga menampakkan batang hidungnya,
Asrana mulai mengira-ngira kalau pria berhidung mancung itu tidak akan datang, hampir
dua jam lebih pria itu belum juga muncul.
Tiba-tiba ponselnya berdering,
ada suara diseberang sana yang menelponnya untuk berkumpul makan bersama, di sebuah
rumah makan dekat ujung jalan dari gedung kantor. Asrana langsung ke sana,
rupanya ada kejutan yang tidak dia sangka, Akhwal berniat untuk lebih dahulu memintanya.
Asrana begitu tersentuh, ingin rasanya dia menjerit.
Di tengah kebahagiaan itu, muncul
pesan bertubi-tubi di ponsel WhatsApp, ia mengira mungkin itu pesan ucapan
selamat dari kawan-kawan, namun tiba-tiba ponsel itu berdering sebanyak dua
kali, Asrana yang tadinya sibuk mengira-ngira, langsung mengangkat telpon tersebut,
terdengar suara Perempuan di Seberang sana.
“Asrana, kau ini betul-betul ya,
tak jadi ikutkah? Kami semua sudah di lokasi, kutinggal saja ya,”hardik Asykila, rekan sejawatnya.
Asrana langsung tersentak dan
bangun dari tidurnya dengan ponsel di telinga, ia termangu sejenak mencerna apa
yang dia alami. Matanya mengarah pada jam
dinding yang menunjukkan pukul 10.00 WIB, dilihatnya pesan WhatApp sudah
terbilang 20 pesan dan 10 panggilan tak terjawab. Ia kembali menepuk pipi, manakala
masih bermimpi, rupanya pipi kiri itu terasa sakit, kondisi itu menyadarkannya bahwa dia sedang tidak bermimpi.
Pelan-pelan ia mulai membuka WhatsApp, rupanya sudah ada puluhan foto yang terkirim di beranda, dia download salah satunya,
tampak Akhwal tengah menggandeng seorang perempuan mengenakan baju pengantin modern
melayu. Akhwal sebagai mempelai pria tampak gagah di foto itu. Mereka dikelilingi oleh
rekan kantornya Asrana. Asykila pun juga ada di sana memperlihatkan ekspresi
meledek, seolah-olah dia mencemooh Asrana yang tak bisa datang dalam pesta itu.
Tiba-tiba benda tajam besar
menghunus dadanya, kali ini dia tersadar bahwa kebahagiaan sesaat
yang dirasakan beberapa waktu yang lalu hanya sebuah ilusi, bunga tidur yang
seolah-seolah nyata, mimpi dipagi hari yang merusak batin, hingga dadanya terasa sesak, air mata berurai membasahi
pipinya, seolah-olah dunia ini akan runtuh.
“Duka macam apa yang aku rasakan
ini, tak pernah sepedih ini dalam merasa, tak sanggup kaki ini berdiri dari
tempat tidur,”
Sampai sore datang Asranapun tak
bergeming dari ranjangnya, dia hanya duduk terpaku di dekat jendela lemari sembari mengamati langit yang mulai
gelap, rasa sedihnya sudah melampaui batas air mata,
dan Asranapun tenggelam dalam lamunannya, lamunan saat dia dahulu menunggu sang
pujaan hati di dekat taman kota ujung jembatan, Walaupun hujan turun, kekasih
yang dinanti itu tak pernah muncul.
Komentar
Posting Komentar