Manuskrip Rekam Jejak Gempa di Sumbar
Belajar Mawas Gempa Sejak Era Minang Tua
Siapa sangka naskah kuno atau manuskrip sejarah Minangkabau yang memuat kejadian gempa dan banjir besar di masa lampau, mampu mengembalikan ingatan masyarakat Sumbar untuk siap menghadapi bencana.
Koordinator Minangkabau Corner, Pramono, tengah sibuk menghadiri acara seminar di Fakultas Ilmu Budaya, Unand. Di ruang diskusi Sastra Minang, Pramono bercerita tentang penelitiannya berjudul Kajian Tematik Manuskrip "Syair Nagari Taloe Terendam dan Gempa Bumi" di Sumatera Barat.
Dalam paparannya ia sampaikan beberapa manuskrip kuno Minang membahas terkait takwil atau perkiraan terjadinya gempa. "Seperti terjadinya gempa di Lombok kemarin, dimana tanggal, bulan dan hari, dalam naskah kuno Minang, dilambangkan dengan akan terjadi kekisruhan perebutan jabatan," bebernya dari takwil manuskrip kuno yang ia baca.
Ia ceritakan, Syekh Lathief Syakur, merupakan ulama produktif kelahiran Air Mancur nagari yang terletak antara Padangpanjang dengan Bukittinggi, seorang penulis asal Minangkabau. Dia mencoba mereportase atau menceritakan kembali bencana yang pernah terjadi di Sumbar.
" Dalam manuskrip tersebut diceritakan kolonial Belanda yang mengalami kerugian gara-gara bencana besar. Dimana bangunan yang sudah di didirikan hancur oleh banjir bandang yang terjadi di Padang Panjang. Saat itu Belanda terpaksa mengambil dana dari wilayah lain. Dari tulisan Syekh Lathif Syakur ini menandakan bahwa Belanda juga pernah melakukan mitigasi bencana di Sumbar, "jelasnya.
Ia sampaikan untuk naskah kuno yang menceritakan peristiwa gempa di Sumbar, baru satu yang ia temui yakni gempa bumi di Talu, Pasaman Barat." Manuskripnya tersimpan di negara Belanda, selebihnya yang ada sekarang hanya takwil gempa saja, "bebernya.
Sebenarnya, ungkapnya, sejak dahulu sudah ada kabar yang menandakan suatu daerah tersebut pernah terjadi bencana. Hanya saja masyarakat masih kurang respon terkait hal itu. Secara arif para ulama juga sudah mengabarkan kepada ulayak, jika terjadi gempa, maka inilah yang akan berdampak.
"Nah, sayangnya rekaman memori perjalanan bangsa yang berkenaan gempa tidak termanfaatkan, baik itu tulisan, seperti manuskrip, maupun lisan seperti nama daerah yang terinspirasi dari peristiwa alam yang dialami daerah tersebut,"ungkapnya.
Ia jabarkan peristiwa alam yang dijadikan sebagai nama daerah, seperti Sawahan, Ampang Gadang, Kubang Putih, Bungo Pasang dan lainnya. "Kalau dianalisa nama Ampang Gadang disimbolkan, bahwa di daerah tersebut pernah terjadi banjir besar, sehingga warga harus membuat ampang yang besar untuk menangkal banjir. Kemudian Bungo Pasang, berarti di daerah tersebut pernah mengalami pasang besar. Jadi peristiwa alam itu dijadikan asal usul daerah, "terangnya.
Sedangkan manuskrip sebagai bukti secara tulisan. Jika tak diteruskan, maka memori kolektif masyarakat tak terbangun terhadap wilayah yang rawan bencana tersebut. Akhirnya apa? Pas gempa kaget, banjir kaget, padahal itu bisa di prediksi. Yang diprediksi bukan waktunya tapi analisa kejadian alam yang pernah terjadi.
"Kalau pernah terjadi gempa, banjir, maka pasti akan terjadi lagi. Itu kan peristiwa berulang. Dimana periode pengulangan bencana itu ada tahunan, lima tahun sekali, bahkan puluhan tahun. Tapi kalau yang besar-besar, seperti gempa besar, banjir besar, itu berabad-abad periodenya. Kita misalkan nih, Banda Bakali. Dahulu banda tersebut dibuat disesuaikan kebutuhan masyarakat saat itu. Kalau sekarang masyarakat sudah bertambah, Banda Bakali bertambah tidak, tidak kan? Pasti akan banjir,"ungkapnya.
Jadi, masyarakat harus terus disadarkan, kalau tidak maka memori kolektifnya tak terbangun, akibatnya pas gempa kaget, sehingga mitigasi bencana tak jalan.
Di kutip dari draft riset Pramono dan rekannya terkait Kajian Tematik Manuskrip "Syair Nagari Taloe Terendam" Gempa Bumi" di Sumatera Barat. Menjelaskan bahwa satu satunya yang baru ditemukan tentang catatan pribumi berkenaan dengan banjir Sumbar adalah naskah "Syair Nagari Taloe terendam 1890".
Naskah ini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Tarendam 1890”. Naskah ini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Dalam syair itu berbunyi Sakali aia gadang, sakali tapian barubah. Selain bermakna bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan, ungkapan ini sekaligus juga merupakan gambaran kesadaran masyarakat Minangkabau terhadap adanya
fenomena alam berupa air besar atau banjir.
Pramono dalam kutipan draft risetnya mengatakan, sepanjang sejarah sama halnya dengan gempa bumi, bencana banjir memang sering terjadi di wilayah Minangkabau. Salah satunya seperti yang terjadi pada 2017 lalu di beberapa wilayah di Sumatera Barat, seperti banjir besar di beberapa wilayah Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Dharmasraya.
"Beberapa kejadian bencana banjir yang pernah terjadi di berbagai wilayah Sumatera Barat bahkan diabadikan menjadi nama tempat daerah salah satunya seperti penamaan Kampuang Tarandam, Pauh, dan beberapa nama tempat lainnya,"ungkapnya bahwa sebelumnya ia juga sudah menjelaskan terkait nama daerah yang lainnya.
Ia sampaikan terkait bencana seperti banjir di Lembah Anai dan Sumani, Solok pada 1982. Dan juga bencana banjir di sekitar daerah Danau Singkarak. Jika lazimnya banjir disebabkan oleh tingginya curah hujan, maka banjir di wilayah itu disebabkan karena luapan air Danau Singkarak sebagai akibat dari gempa bumi berkekuatan 7,8 skala Richter yang berpusat di Padangpanjang pada 28 Juni 1926.
"informasi itu saya dapatkan dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Harian Dagblad Radio, 29 Juni 1926 dan Harian Soeara Kota Gedang, tahun ke-XI, No. 7, Juli 1926, "bebernya.
Disamping itu, Salah satu peneliti terkait gempa bumi di Sumbar, Yose Hendra, menambahkan, bahwa thesisnya yang berjudul penanganan gempa bumi di Sumbar, ia fokus untuk komparasi gempa 1926 di zaman kolonial Belanda dengan gempa pada masa kemerdekaan tahun 2009.
"Satu hal yang bisa diambil kesimpulan, kejadian gempa tersebut, yakni bangunan yang diterjang gempa ditahun 1926, yang terdiri dari rumah gadang tak roboh, tetap berdiri kokoh dan tak roboh, sedangkan rumah tembok paska gempa 2009, hampir semuanya roboh, "tukasnya. (*)
Komentar
Posting Komentar