Zariana Syndrome Jabatan
BUKAN main gayanya Zariana, perempuan berlagak di kampung Dukuh itu. Dahulu dia hanya bawahan biasa, datang untuk manggut-manggut, kadangkala bermuka dua atas perkara apa saja, betul-betul luar biasa. Sekarang dia sudah berbangga, perempuan 40 tahun itu, diangkat menjadi ketua di desa itu. Bukan kepalang pongahnya, tak dapat sedikit orang berjumpa, harus menyapa dengan sebutan buk ketua, kalau tidak kena ceramah, dan dicap sebagai masyarakat yang tak tahu menghargai tokoh di kampung itu. Sudah kembang kempis hidung Zariana sekarang, saat menghardik salah satu anggotanya yang lupa menyapa dengan sebutan buk ketua, seketika garang amarahnya. Padahal hanya perihal sepele tapi tingkah Zariana, sudah seperti terhina saja, betul-betul lucu. Jangan main-main dengannya, jika dia terusik, maka tuduhan tak beralasan dia lontarkan, entah benar, entah tidak, yang jelas rasa sakit hatinya hilang dulu. Kalau orang-orang melihatnya sebagai syndrome jabatan, maklum belum konon-konon dia dapat jabatan demikian.
Zariana tinggal di kampung Duku,
kampung yang sangat jauh dari perkotaan, kalau ingin ke sana mesti ada kendaraan
pribadi, sebab daerah itu hanya memiliki jalan setapak yang lumayan luas, tapi tidak
beraspal, kenapa demikian, karena tanahnya lunak, jadi jalan itu disemen
saja yang tebal sudah cukup untuk warga berlalu lalang.
Perkampungan ini sangat dingin,
udaranya sejuk, tumbuhan yang hijau-hijau mudah bertumbuh saking suburnya tanah
tersebut, maka mayoritas penduduk di sana adalah bertani. Penghasilan warga itu
per-musim, jika musim panen datang maka berpestalah para penduduk, tapi jika
masih dalam tahap menanam, mereka ikut koperasi yang digunakan untuk
modal awal dalam bertani, nanti kalau panen sudah menjadi, baru dihitung
berapa jumlah hasil panen, berapa pinjaman dan berapa untung yang didapat.
Bekerja sebagai petani, tidak
menyurutkan harapan penduduk untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat perguruan
tinggi, jika diperkirakan anak yang lulus sarjana di daerah itu hanya hitungan
jari, selebihnya tamatan sekolah menengah dan putus sekolah.
Jika berkunjung kebagian pesisir perkampungan
maka akan bertemu dengan pantai yang luas, tempat para warga disekitarnya berlayar
untuk mencari ikan.
Sebabkan kampung ini agak diperdalaman,
otomatis tak semua orang bisa mendapatkan akses untuk maju dan berkembang, hanya
segelintir saja, kalau tidak adiknya, saudaranya, kalau tidak
saudaranya anak kemenakannya begitu seterusnya. Akses kemajuan ini dimaksudkan
jika ada lapangan pekerjaan atau menjadi pemimpin dalam kelompok perkampungan,
atau sebuah organisasi yang mewadahi pembangunan di kampung itu, maka yang akan
bertugas adalah orang-orang terdekatnya saja, tanpa mengajak orang di luar
kerabatnya.
Zariana kebetulan saat itu
mendapatkan kesempatan menjadi ketua yang memimpin sebuah pekerjaan yang
bergerak dibidang sosial, tentu pekerjaan itu ada gaji perbulannya, sehingga
dia mesti merekrut anggota untuk menjalankan aktivitas itu, jadi segala macam
teknis dia yang pegang, termasuk untuk rekrutmen keanggotaan. Disinilah letak
ketidakadilan, bagaimana tidak, sebanyak itu anak nagari berkompeten yang
melamar, tidak ada satupun yang dia loloskan, soalnya kerabatnya juga melamar
posisi yang sama, walaupun kemampuannya belum mumpuni. Hal itu sudah biasa
terjadi di kampung itu, walaupun sebenarnya masyarakat sudah bosan
mempermasalahkannya, jadi dibiarkan saja sesukanya. Sebab tak ada jera,
sungguhpun sudah digugat beramai-ramai, tetap saja periode berikutnya akan
demikian lagi. Pada akhirnya dibiarkan saja.
Jangan dikira kejadian itu hanya
terjadi pada masa Zariana saja, sudah sejak dahulu memang begitu adanya, pakai sistem
kekerabatan. Jadi kalau setiap kegiatan tahunan itu dimulai pasti akan
ditemukan wajah lama yang bertugas, dan orangnya pasti itu-itu saja, yang
terdiri dari kerabat-kerabatnya. Sebenarnya warga serta merta tak bisa
menyalahkan kondisi itu, karena faktor pendidikanlah kenapa orang berkerabat
itu bisa berkesempatan, itu karena nasibnya saja yang kebetulan ada di atas,
bukan atas kemampuannya yang bagus, tapi kerabat terdahulunya yang membantu. Di
sisi lain masyarakat yang kerjanya bertani dan nelayan bagaimanapula ada
kesempatan yang demikian, walaupun keinginan ada, tapi siapa yang akan membantu
mereka, kerabat yang berwenangpun tak punya.
Jadi begitulah carut marut proses
jabat menjabat di dalam kampung itu. Zariana bagian dari kelompok itu, kalau
sudah begitu adanya mesti dibilang bagaimana, tak usah saja ikut begitu, toh
tak juga diloloskan. Anak nagari sebenarnya
berharap betul jika memungkinkan ada kesempatan, maka bolehlah diberi kesempatan untuk mencoba, biar ada regenerasi berkelanjutan, tapi nyatanya mana
peduli, inikan perkara periuk nasi, toleransi tunda dululah.
Tapi anehnya mereka itu menjabat
hanya sekitar perkampungan saja, kalau diajak berkompetisi diluar kampung, kalah
saing, soalnya kalau sudah di luar dari kampung, mana ada kerabat lagi yang
akan membantu, berjuang sendirilah, sebab itulah hanya cuma berani di sekitar kampung. Tapi itukan dahulu, semoga saja untuk untuk masa yang akan datang tidak ada
lagi sistem yang demikian.
Komentar
Posting Komentar