ZAIDAN LUPA ASAL


 

Zaidan Lupa Asal

Tak hirau lagi bagaimana tingkah laku zaidan, saat hidupnya sudah menjadi, dia cukup berbangga sekarang lulus menjadi pegawai negeri sipil (PNS), status yg mungkin dielu-elukan oleh hampir setiap orang. Eits tunggu dulu, bukan setiap orang tapi  sejumlah orang. (***) 


Zaidan sejak dia bersekolah, kondisi ekonominya tidak begitu mumpuni, bapaknya bekerja sebagai buruh harian, ibunya seorang ibu rumah tangga, dia bertiga bersaudara, sebagai anak sulung, tak serba berada. Sepatu sekolah ia dapat dari bekas tetangga, hanya baju dan celana yang dibelikan ayahnya, dari gaji berburuh yang di tabung ibunya setiap hari. 


Oleh karenanya, timbul niat di hati Zaidan ketika itu, untuk merubah nasib menjadi lebih baik. Tapi yang namanya bocah kecil, hari ini ia bertekad, esok lupa lagi.  Di dalam prestasipun Zaidan tergolong murid biasa, ia hanya mampu memperoleh peringkat 10 ke atas. Bisa dikatakan kemampuannya sedang-sedang saja. 


Selang waktu berlalu, Zaidan kecil mulai beranjak remaja, ia bersekolah di SMP dekat dengan rumahnya, walau beberapa kawan-kawannya memilih untuk bersekolah keluar dari daerah yang terkenal pelosok dan jauh dari perkembangan tersebut. Kendatinya bagi Zaidan sekolah dimanapun sama saja, sama-sama belajar, dan sama-sama duduk di kursi dan punya meja. 


Di lain sisi Zaidan bukanlah sosok remaja yang malas, berlatarbelakang hidup serba berkecukupan membuatnya harus berdagang setiap pulang sekolah, guna membantu keluarganya, minimal untuk biaya sekolah, jika berlebih ia bisa berbagi dengan sang adik yang sudah duduk di kelas 5 SD. 


Hampir setiap hari ia berjualan gorengan yang dibuat oleh sang ibu, bahkan sebelum dagangan itu habis ia enggan pulang. Kendatinya disaat anak-anak seumurannya masih bisa bermain-main, sedangkan Zaidan tak punya waktu untuk kesenangan itu. 


Sampai akhirnya ia betul-betul mulai membulatkan tekad untuk menjadi seorang guru, cita-cita yang sudah ia rencanakan sejak sekolah dasar. Keinginan itu bukan sembarang ber ingin saja, tapi itu semua karena kekagumannya pada sosok walikelas yang ramah dan tidak membanding-bandingkan semua murid. 


"Kalau kelak anak-anak ibu bisa menggapai cita-cita, entah itu jadi pilot, jadi guru, jadi pengacara atau apapun, ingat satu hal, jangan pernah sombong dan selalu rendah hati, "nasihat Marsiah guru kelas Zaidan. 


Seketika ucapan Marsiah terus terngiang-ngiang oleh Zaidan, maka semakin besar pula tekadnya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Tak ada yang istimewa dari kehidupan remaja Zaidan dia tetaplah anak biasa-biasa saja, dengan prestasi yang biasa-biasa saja. 


Namun ketika Zaidan sudah duduk di bangku SMA, laki-laki tinggi dengan wajah tirus itu mulai belajar dengan sungguh-sungguh. Tak tanggung-tanggung, ia mampu menggapai prestasi istimewa yang tak konon-kononnya ia raih. Yakni mendapatkan juara umum di kelas unggul pada SMA tersebut. Jelas saja itu adalah peluang baginya untuk bisa mendaftar menjadi mahasiswa undangan di perguruan tinggi  yang ia inginkan, melihat nilainya yang terus meningkat. 


Hingga akhirnya harapan itu terkabul, Zaidan diterima di perguruan tinggi ternama di provinsi tempat ia menetap, jurusan pendidikan matematika. Terang saja itu membuat kebanggaan bagi seluruh anggota keluarga, bahkan tetangganya berdecak kagum atas perjuangan Zaidan. Zaidan sering dibanding-bandingkan dengan anak tetangga yang notabennya tak lulus jadi mahasiswa undangan. 


Melihat banyaknya dukungan yang diberikan kepadanya, Zaidan pun bersemangat untuk menggapai cita-citanya. "tinggal beberapa langkah lagi," bisik hati Zaidan.


Tiga tahun berlalu, Zaidan mulai mengikuti Praktik Lapangan (PL) di salah satu sekolah negeri, mengingat sebentar lagi dia harus menyusun judul untuk skripsi. Disamping itu, sejak tahun pertama hingga akhir, ia tak pernah risau soal biaya, mengandalkan beasiswa dari perguruan tinggi tersebut yang cukup untuk membiayai hidupnya, tentunya tak perlu merepotkan orang tuanya. 


Seketika Zaidan pun tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, cerdas dan berwibawa. Hingga datanglah hari penetapan, dimana pria 23 tahun ini resmi lulus di perguruan tinggi tersebut. 



"Zaidan Saputra, S.Pd, anak dari bapak Marjin dan ibu Gamarleli, lulus dengan IPK 3,8, predikat cumlaude. Kepada Zaidan Saputra disilakan, " sorak pembawa acara pada pesta kelulusan di perguruan tinggi tersebut bergema. Semua orang riuh bertepuk tangan, suasana menjadi haru, bahkan kedua orang tuanya Zaidan tak henti-hentinya mengucap syukur. 


Tak sampai disitu saja, Zaidan pun melanjutkan pendidikannya ke tingkat strata dua, berbekal beasiswa yang kembali ditawarkan oleh perguruan tinggi tersebut. Sembari kuliah ia pun menjadi tenaga pengajar honorer di salah satu SMA di daerahnya sebagai guru Matematika. 


Jelang dua tahun berlalu ia pun menamatkan kuliahnya dengan tepat waktu. Seminggu jelang wisuda S2, dia mendapat informasi bahwa ada penerimaan PNS sebagai guru SMA di salah satu kota di provinsi tempat ia menetap. Kemudian segala tetek bengek syarat ia selesaikan, hingga mengikuti ujian. Sampai akhirnya hasil ujianpun diumumkan, dan Zaidan lulus dengan urutan kedua dari 50 nama yang terlampir. Tak tanggung-tanggung bahagianya. Ia pun mengucap syukur, jerih payah yang selama ini membuahkan hasil. Maka ditetapkanlah Zaidan sebagai  guru di SMA provinsi. Pria yang sudah berusia 26 tahun itupun mulai bekerja, setiap bulan mendapatkan gaji yang lumayan bisa meringankan beban orang tua, dan mampu membantu biaya sekolah kedua adiknya. 


Sejak saat itu hidup Zaidan berubah, kawannya pun semakin banyak, bukan hanya di sekitar tempat tinggal, bahkan kawan yang dahulunya tak pernah peduli dengannya, lantaran beda golongan, mulai mendekat, dan Zaidan pun merasa dirinya sudah menjadi kalangan atas di kampungnya. Walau demikian dia tak pernah lupa dengan sahabatnya, konco palangkin yang selalu ada disaat dia susah. 


Waktu terus berlalu, Zaidan bertemu dengan pujaan hatinya, tepat pada usia 28 tahun ia menikahi perempuan manis tersebut. Perempuan yang ia temui saat ikut seminar penyuluhan di kota tempat ia mengajar. Akhirnya pernikahannya digelar. Ia mulai mengundang hampir seluruh koleganya yang hebat-hebat, sebab dia sudah terpandang sekarang. 


Bahkan diapun sudah masuk ke grup anggota elit di kota itu. Zaidan mulai tak memperdulikan lagi sahabatnya yang hanya bekerja sebagai karyawan honorer. Bagi Zaidan sahabatnya terlewat kolot, untuk bisa ia ajak pergi ataupun berkawan. Hingga saat pernikahan itu tiba, tak ada satupun dari sahabatnya yang datang, entah karena tak diundang, atau ia lupa mengabarkan. Yang jelas Zaidan tak ingat lagi dengan sahabat yang dahulu ada disaat dia susah. Tentu tak sampai disitu, sewaktu-waktu sahabatnya ini pernah menghubunginya, entah itu melalui telepon atau WhatsApp, tapi tak pernah ia gubris. (***) 

Komentar

postingan populer