Orang miskin "kekaya-kayaan" Tapi Orang Kaya Tak mau "Kemiskin-miskinan"




Hidup ini antara adil dan tak adil, tahu diuntung dan tak tahu diuntung. Bahkan berpura-pura jadi kaya sudah biasa. Tapi kalau pura-pura jadi miskin, belum tentu ada yang mau. Minoritas ada, tapi hanya segelintir saja. Sebab untuk berpura-pura tak berpunya itu susah. Harga diri tantangannya, ocehan orang risikonya, dihina, bahkan diejek. Sudah begitu, pola pikirnya.

Lantas, apakah berpura-pura itu baik? Ya tergantung. Berpura-pura seperti apa dulu, jikalau miskin "kekaya-kayaan" itu buruk, tapi kalau sebaliknya itu bagus. Coba kita beranda-andai, kalau orang kaya pura-pura miskin, mungkin tak kan ketemu orang pongah berjalan di muka bumi ini.

Saya bayangkan, seandainya orang kaya yang biasanya makan pakai stik daging Hot Plate, diganti pakai cabai dan sayur. Yang biasanya rumah ber AC, sekarang hanya kipas berwujud angin, bersumber dari gesekan dahan pepohonan. Yang dahulunya diantar sopir pergi ke Supermarket, sekarang diantar pakai kaki. Sungguh adilnya dunia ini. Orang kaya merasakan jadi miskin dan orang miskin merasakan jadi kaya.

Tapi itu tak mungkin. Banyak yang beranggapan jadi kaya itu sudah suatu kenyataan yang mutlak, dan tak kan berubah. Padahal tak mungkin setiap roda itu akan terus berada di atas, pasti pada masanya akan berada di bawah. Apa tidak terfikirkan sampai ke sana?

Kalau dipikir-pikir, hidup kaya sedari kecil membuat badan jadi ongkang-ongkang kaki di rumah, mungkin saja, tak kenal yang namanya susah materi. Sebab makan disiapkan, minum disiapkan, baju dicucikan, apa-apa dilayani, kecuali satu, mandi dan BAB.

Kalau dilihat-lihat tak ada bedanya sama orang sakit yang serba dilayani. Namun tak semuanya yang demikian, ada juga yang mandiri dan tahu diuntung.

Tapi yang sering saya dengar, kalau ada yang miskin kekaya-kayaan diberi gelar tak tahu diuntung. Lucunya sebutan itu hanya berlaku untuk orang miskin. Orang kaya mah bebas.

Komentar

postingan populer