Perempuan dan Batas-Batas yang Ingin Kita Robohkan Bersama

 

Menjadi perempuan tidak pernah benar-benar sederhana. Ada begitu banyak tuntutan budaya yang sering terasa membatasi langkah, terutama ketika seorang perempuan ingin meraih mimpi. Masih sering terdengar komentar seperti, “Jangan egois, tempatmu di dapur saja, urus suami dan anak.” Padahal mengurus rumah tangga bukanlah masalah, selama itu bukan dijadikan alasan untuk mematahkan mimpi atau meremehkan keinginan perempuan.

Pola pikir patriarki telah mengakar lama dan diwariskan turun-temurun. Banyak orang tua mengharuskan anak perempuan bisa mencuci, memasak, menyapu, dan mengurus rumah, namun jarang menuntut hal yang sama pada anak laki-laki. Ketika laki-laki membantu pekerjaan rumah, sering muncul komentar, “Tidak ada perempuan di rumah ya?” Padahal mengurus rumah bukan tugas satu gender, itu keterampilan hidup yang seharusnya dimiliki semua orang.

Ada pula tekanan sosial lainnya, ketika perempuan memasuki usia 30 tahun ke atas dan belum menikah, ia kerap diberi label negatif seperti “perawan tua” atau dianggap terlalu pemilih. Padahal memilih pasangan adalah hal yang sangat wajar, bahkan penting, karena pernikahan bukan urusan sepele. Ironisnya, banyak perempuan justru didesak untuk menerima siapa saja yang datang, seolah-olah pilihan bukan milik mereka.

Akibatnya, tak jarang muncul problem dalam rumah tangga, visi-misi yang tidak sejalan, kurangnya penghargaan, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Banyak perempuan yang akhirnya memilih untuk sendiri bukan karena tidak ingin menikah, tetapi karena terlalu sering melihat bagaimana perempuan dirugikan dalam hubungan yang tidak seimbang. Tentu tidak semua demikian, tetapi banyak kasus yang menunjukkan pola tersebut.

Ada juga anggapan bahwa perempuan tidak boleh lebih pintar daripada laki-laki. Padahal kecerdasan perempuan adalah modal penting dalam membangun keluarga yang sehat. Perempuan sukses yang belum menikah kadang dijodohkan dengan laki-laki yang “sekadarnya”, seolah-olah perempuan tidak berhak mendapat pasangan yang setara. Sikap seperti itu justru merendahkan perempuan, karena perempuan pun berhak menentukan pilihan dan berhak mendapatkan yang terbaik.

Jika melihat berbagai kasus seperti pelecehan seksual atau KDRT, sering kali perempuanlah yang paling dirugikan. Bukan karena perempuan lemah, tetapi karena lingkungan kerap melabeli dan memperlakukan mereka seakan-akan lemah. Padahal, perempuan memiliki ketahanan luar biasa—bahkan secara biologis mereka mampu menanggung rasa sakit yang tidak dialami laki-laki, seperti menstruasi atau melahirkan. Rocky gerung dalam pengamatannya pernah bilang, bahwa perempuan itu dirancang untuk menahan rasa sakit dan penderitaan.

Tekanan sosial semakin terasa ketika perempuan dianggap “expired” jika belum menikah di usia tertentu. Seolah-olah nilai perempuan ditentukan dari kemampuan melahirkan. Padahal keputusan memiliki anak atau tidak adalah hak setiap perempuan, bukan sesuatu yang boleh dipaksakan oleh lingkungan.

Secara ilmiah pun, kecerdasan anak diwariskan melalui gen dari ibu. Artinya, menghargai perempuan sama dengan menghargai masa depan sebuah generasi. Maka, sangat keliru jika masih ada pandangan yang merendahkan perempuan.

Ada pula anggapan bahwa perempuan itu konsumtif. Padahal standar kecantikan yang diciptakan masyarakatlah yang membuat perempuan merasa perlu memenuhi berbagai tuntutan perawatan. Setelah menikah, banyak perempuan justru mengorbankan waktunya untuk keluarga, hingga kadang tidak sempat merawat diri.

Sementara itu, laki-laki yang belum menikah dianggap matang, sedangkan perempuan yang berpendidikan tinggi dianggap terlalu ambisius. Sudut pandang seperti ini perlu diubah, agar laki-laki dan perempuan bisa saling mendukung tanpa ada dominasi yang berlebihan. Pada akhirnya, hubungan yang sehat dibangun atas tujuan yang jelas, bahwa pernikahan adalah ibadah, bukan sekadar pemenuhan tuntutan sosial.

 

Komentar

postingan populer