Ketika Ilmu Bertemu Realita, “Perjalanan Mencari Titik Nyambung dalam Dunia Pendidikan”

Belajar di ranah sains murni - khususnya kimia - lalu menempuh sertifikasi PPG Prajab IPA, dan akhirnya mengajar di tingkat sekolah dasar seringkali dianggap sebagai perjalanan zig-zag yang sulit ditebak. Di mata banyak orang, lintas jalur seperti ini tampak tak sejalan, bahkan seperti arah yang tidak sinkron. Namun sesungguhnya, dibalik setiap alur yang berliku, selalu ada alasan yang diam-diam menuntun langkah seseorang. Dan di sanalah filosofi sederhana itu tumbuh.

Saat memasuki PPG, dunia baru seolah terbuka. Ada banyak hal yang sebelumnya hanya sebatas teori, kini mendadak terasa dekat dengan realita, memahami variasi karakter dan gaya belajar siswa, membaca asesmen diagnostik bukan hanya sebagai formalitas administrasi, mengenali model‐model pembelajaran yang ternyata tidak sekadar nama, hingga belajar menyusun modul ajar yang relevan dengan kebutuhan kelas. Tidak semuanya bisa dikuasai saat itu juga dan itu wajar. Tapi sebagian besar tertinggal sebagai bekal berharga, yang kemudian menjadi pijakan ketika berdiri di depan kelas.

Namun, teori ideal tidak selalu menyeberang dengan mulus ke lapangan. Saat teknik itu dipraktikkan di SMP, kenyataannya berbeda. Ada hal-hal yang tidak sejalan seperti yang tergambar di buku. Bukan karena metodenya salah, bukan pula karena siswanya tidak mampu. Melainkan karena dasar belajar mereka belum tertata dengan utuh. Fondasinya belum kuat, sementara tantangan materi terus bergerak ke depan. Seperti membangun dinding di atas tanah yang belum diratakan, struktur rapuh sebelum sempat berdiri kokoh.

Jika proses dipaksa maju, yang muncul bukan kemajuan, melainkan jarak. Dan jarak itu pelan-pelan melahirkan ketertinggalan, ditambah dengan minat belajar yang mulai turun karena siswa merasa dirinya semakin tertinggal tanpa tahu di mana titik awalnya.

Dalam kondisi seperti itu, guru tidak hanya menjadi pengajar, tapi juga pembaca keadaan. Ibarat dokter, sebelum memberi obat ia harus melakukan pemeriksaan, dari mana masalah bermula, apa yang menghambat, dan di mana keseimbangan harus dipulihkan. Begitu pula dalam pembelajaran, screening menjadi fondasi yang tak boleh terlewat, agar langkah awal dapat dipijak dengan benar.

Tantangan lain datang dari hal yang tampak sederhana, namun berdampak besar, waktu belajar yang tidak stabil. Jam pelajaran yang sering berubah, padatnya agenda sekolah, serta terbatasnya durasi per pertemuan membuat proses pembelajaran tidak selalu penuh dan kesinambungan. Untuk satu materi inti saja kadang tak cukup, apalagi harus menyambung ulang pondasi yang belum selesai dibangun dari jenjang sebelumnya.

Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk memulai dari akar. Dari titik dasar. Dari pemahaman paling awal yang bisa disepakati bersama. Mengajar tidak lagi sekadar memindahkan isi buku ke kepala siswa, tetapi memastikan jalan menuju pemahaman itu benar-benar terbuka dan dapat dilalui.

Karena pembelajaran bukan perlombaan kecepatan, melainkan proses menuju kebermaknaan. Mengajar dari dasar bukan berarti mundur, justru itu langkah untuk membuat pijakan lebih kuat, agar langkah berikutnya tidak goyah.

Dan pada akhirnya aku percaya, “Setiap perjalanan ilmu, seberapa pun jauh atau berliku, layak dimulai, dari satu titik paling jujur, dasar yang benar bisa kita pahami bersama, dari situlah semua ilmu itu akan bertumbuh.

 

Komentar

postingan populer