Perjalanan Halus yang Tak Dilihat Siapa-Siapa
Dhiya bukan perempuan yang serba bisa, dia hanya salah satu diantara perempuan yang belum mumpuni di kampungnya, belum mumpuni dari segi yang orang-orang tak pernah puas terhadap pencapaiannya. Biasanya perempuan 28 tahun itu, sering jadi bulan-bulanan tetangga yang sering membanding-bandingkan hidupnya dengan gadis sebayanya. Di sisi lain Ia hanya perempuan yang sedang belajar tumbuh, pelan-pelan, tanpa banyak sorotan. Namun sayangnya, lingkungan tempat ia menetap tak pernah benar-benar memberi ruang bagi seseorang yang tumbuh pelan. Walau demikian dia lebih memilih diam, dan teguh dengan keyakinannya.
Di kampung itu, ukuran keberhasilan seolah sudah ditentukan sejak dahulunya, tamat kuliah, punya pekerjaan tetap, pulang membawa berita yang membanggakan. bahkan teman-teman seusianya banyak sudah menikah, punya rumah sendiri, bekerja dan gaji yang cukup membuat keluarga bangga. Sementara Dhiya masih sering jadi bulan-bulanan, dia sering dijdodohkan dengan berbagai macam jenis manusia.
Padahal
baginya rumah tangga itu bukan perlombaan, dan perjodohan bukan mesti menerima
apa yang ada atau seadanya saja. Dalam senyap dia mengumpulkan doa yang panjang,
doa yang hanya dia sendiri yang tahu dan tak pernah diceritakan kepada
siapapun.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PEREMPUAN berkacamata hitam itu, setiap harinya
bekerja sebagai design grafis di sebuah studio biasa, walau biasa tapi
banyak peminat, sehingga dia sering menerima berbagai macam permintaan dari
kliennya. Kali ini Dhiya datang lebih awal dari enam orang rekan kerjanya. Di
perjalanan dia sengaja untuk naik angkutan umum, agar bisa berolahraga sembari
jalan pagi untuk melatih otot kaki dan kesegaran dalam berfikir nanti saat
bekerja.
Pukul 06.15 WIB, gadis berlesung pipi itu,
sudah berada di terminal angkutan, jarak dari rumahnya dengan berjalan kaki tak
lebih lima menit, jadi dia sengaja untuk bersiap lebih cepat agar tak terlambat,
walaupun waktu kerjanya mulai pukul 08.00 WIB. Kondisi langit saat itu, masih
sedikit gelap, tapi udara terasa sejuk, sebab belum banyak asap mobil yang
berkeliaran. Disampingnya sudah berderet laki-laki dan perempuan berjejer di
bangku terminal, yang terdiri dari anak sekolah, guru, karyawan dan pedagang.
Satu diantaranya berdiri bersandar di tiang, sembari memegang satu kaleng kopi.
Sesekali dia duduk jongkok untuk minum, lalu berdiri kembali setelahnya, sambil
membaca buku.
Pria yang membawa kaleng kopi itu, berpakaian
kemeja rapi dengan topi hitam yang ia kenakan, tengah menunggu kawannya yang
juga datang dari arah berlawanan gerbang terminal. Dhiya melihat aktivitas
dimana ada seorang pria berjaket coklat berlari-lari mendekatinya. Sambil
terengah-terengah pria itu melambaikan tangan dari kejauhan mengarah kepadanya.
Dhiya mengernyitkan dahi sebab merasa tak mengenalnya, karena segan ia pun tersenyum
memberi salam. Pria yang di belakangnya tertawa menyaksikan itu, karena yang
dimaksud pria itu bukan menyapa Dhiya tapi seorang pria yang sudah lama berdiri
di belakangnya. Malu betul rasanya, sudah overthingking saja gadis itu.
Lima menit kemudian angkutan umum itu mulai
beroperasi, orang-orang sekitar terminal berebut menuju pintu bus biru itu. Saking
kuatnya dorongan dari arah belakang, Dhiya terpaksa mundur, agar tidak terdesak
dan jatuh, pada akhirnya dia naik paling belakang. Semua kursi sudah terisi. Dengan
terpaksa harus berdiri.
Dhiya berdiri di dekat pintu dari arah depan, terhimpit
oleh dua pria bertubuh besar. Pria bertubuh besar itu bau rokok, menyebabkan pusing.
Terkadang dia tutup hidung, terkadang tahan nafas. Dia mesti jaga jarak agar tak menyentuh.
Dari kejauhan seorang pria yang memakai ransel
biru itu, diam-diam memeperhatikan posisi pria bertubuh besar itu. Seketika dia
menyapa Dhiya yang tengah melamun.
“Kak, duduk di kursi saya saja,”Ketika itu Ithar
pria bertopi hitam yang menyandang tas biru menarik kecil tas bahu Dhiya.
Tanpa berfikir panjang Dhiya langsung menempati
kursi yang sudah kosong itu. “Terimakasih bang,”ujarnya.
Lega betul rasanya, dia bisa duduk setelah tak
kuat menahan nafas karena bau rokok.
Tiga puluh menit kemudian sampailah di depan
halaman studio, tampak pintu gerbang masih separuh terbuka, perempuan itu
langsung berjalan menuju ruang administrasi, di sana Rahmah selaku admin kantor,
sudah datang dahulu, dia tengah menyantap sarapan pagi.
“Kukira aku yang duluan sampai, ternyata kamu
lebih dahulu daripadaku Rahmah,”ucap Dhiya seketika mencomot satu potong tahu
isi yang ada di atas meja.
“Sekali-kali bolehlah aku duluan, sebab aku
sedang tak enakan dengan orang di rumah, karena dibanding-bandingkan terus sama
kakakku dan adikku,”jelasnya.
Akhirnya dua rekan kerja ini saling bercerita
tentang kejadian yang menimpa mereka sejak dari rumah sampai tiba di kantor.
Dari kejauhan tampak Lais sedang memarkir motor
di samping Gedung, dia dengan pakaian yang rapi dan menarik perhatian, langsung
menuju pintu belakang, lantaran malas berurusan dengan Rahmah yang notabennya menyukainya.
“Dhiya, kamu kan satu ruangan
dengan Lais. Tak bisakah kamu bantu menjodohkanku dengannya?” bisik Rahmah,
matanya mengikuti Lais yang berjalan tergesa menuju pintu belakang.
“Aku tak bisa bantu urusan
begitu,” jawab Dhiya pelan. “Lais itu… tipenya bukan seperti kita.”
Ia tertawa lirih setelahnya, entah sedang meledek Lais atau menertawakan nasib
mereka sendiri.
Tak lama kemudian, Dhiya beranjak
menuju ruangannya. Di dalam, baru ada tiga orang: Dhiya, Lais, dan Lutfan.
Aini, Sarah, dan Aizar belum datang.
Kebetulan meja Dhiya berhadapan
langsung dengan meja Lais. Bukan karena saling tertarik mereka sering beradu
pandang, melainkan murni karena posisi duduk yang terlalu dekat. Ekspresi Lais
biasanya datar-datar saja, sementara Dhiya hampir selalu mengernyitkan dahi pertanda
betapa ia kurang menyukai cara laki-laki itu bersikap.
Pukul 09.00 WIB mereka sudah sibuk dengan
pekerjaan masing—masing. Kali ini Dhiya cukup kelimpungan menghadapi klien yang
banyak betul minta revisi, kadang revisi itu tak masukk akal. logonya harus
besarlah, warnanya mesti cerah lah, tapi gelap sedikit.
“Kak, saya maunya yang ada logo
kopinya, seperti yang saya jelaskan tadi. Ukurannya jangan besar, jangan kecil,
sedang saja. Warnanya juga di tengah tidak terlalu terang dan tidak terlalu
gelap,” ujar pria itu melalui telepon.
“Baik, Pak. Saya coba desain
sesuai permintaan bapak. Nanti akan saya kirim, ya,” jawabnya dengan sopan.
Kendatinya Dhiya sudah terbiasa menerima
tekanan seperti ini dari kliennya, itu bukan hal baru lagi baginya, kadang dia
membayangkan, kalau dalam pekerjaan saja banyak yang tidak sefrekuensi,
bagaimana pula jika nanti sudah berumah tangga, menakutkan sekali jika hidup
dengan seseorang yang cara berfikirnya selalu bertabrakan.
Di sebuah restoran besar, seorang
pria tampak sibuk mengutak-atik laptop. Ia sedang meneliti hasil desain produk
restorannya—menilai apakah desain itu sudah siap cetak atau masih perlu revisi.
“Bro Ithar, kamu jadi masuk nggak
hari ini? Kita belajar bareng. Dosen yang kemarin nyari kamu itu kayaknya suka
sama kamu. Umur kalian juga nggak jauh beda,” ujar Arkan, yang sejak tadi
menunggu Ithar bersiap-siap ke kampus.
“Tunggu sebentar lagi.
Desainernya baru kirim draft yang katanya sudah selesai,” sahut Ithar tanpa
melepas pandangan dari layar.
“Lu perfeksionis banget, Thar.
Kasihan itu tukang desain, pasti sakit kepala lihat request lu. Mending lu sewa
aja sekalian orangnya, bawa ke rumah atau ke resto ini, biar tiap kali lu mau
revisi tinggal panggil,” gerutu Arkan mulai kesal.
Ithar terkekeh. “Ide bagus tuh.
Kalau nggak kelar-kelar juga, kusuruh aja dia ke sini.”
“Dasar orang aneh,” Arkan
menghela napas. “Terus gimana urusan dosen itu? Lu kan udah 32 tahun, S2 mau
kelar juga. Pinang lah dia, cocok kok satu frekuensi.”
“Mending aku lamar kakak yang
bikin desain ini. Hasilnya jelas dan rapi.” Ithar meledek tanpa menoleh.
Arkan mendengus. “Terserahlah bro.”Ia pun bangkit dan berjalan
ke meja depan untuk mengambil sekaleng kopi.
Tak lama kemudian dia kembali dengan tas ransel
disandangnya dan Ithar pun juga sudah bersiap untuk pergi. Mereka berdua
mengendarai mobil yang memang sengaja ditinggal di restoran sejak kemarin sore.
Di studio itu, Dhiya tengah sibuk menyelesaikan
beberapa design termasuk design aneh itu. Dia mencoba mengedit dengan optimal
sesuai permintaan, kali ini kliennya cukup mahal menghargai jasa design
tersebut, jadi dia mesti berhati-hati.
Tapi setiap design itu selesai diedit, selalu
ada saja yang tak sesuai dengan keinginan kliennya, padahal sudah optimal dia
kerjakan. Tak pernah ambil pusing ia hadapi klien yang rewel tersebut dengan
sabar, biasanya klien yang datang kepadanya, cukup dua kali revisi, mereka
sudah puas. Ini malah sebaliknya. Untung saja dia masih waras.
Keesokan harinya, seperti biasa, ia mengerjakan beberapa desain yang paling mudah terlebih dahulu, lalu beralih ke desain yang lebih sulit. Kali ini ada email yang masuk, atas nama Ithar, klien premiumnya dengan permintaan yang rumit. Sudah seminggu ia mengerjakan desain itu, namun klien tersebut tak kunjung merasa puas. Ia sempat menyerahkan pekerjaan itu kepada beberapa rekannya, tetapi tak satu pun yang sanggup menyelesaikan. Mereka anggap permintaan klien itu terlalu aneh dan merepotkan, Akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi klien tersebut, mengajak berdiskusi langsung agar revisi bisa dikerjakan saat itu juga dan selesai pada hari yang sama. Pertemuan itu dijadwalkan pada akhir pekan, supaya pekerjaan Dhiya di studio tidak terganggu.
Minggu, pukul 10.00 WIB, Dhiya
datang bersama Rahmah untuk bertemu klien di restoran milik pria bernama Ithar.
Sesampainya di sana, Ithar mempersilakan mereka duduk dan menyajikan beberapa
hidangan terbaik dari restorannya. Ia merasa pernah melihat Dhiya sebelumnya,
namun tidak bisa mengingat di mana.
Meeting pun dimulai. Mereka
bertiga berdiskusi, dan setiap permintaan yang diajukan Ithar segera dikerjakan
oleh Dhiya. Namun, pria itu tetap saja tidak puas.
Dhiya mulai kesal. Ia benar-benar
bingung seperti apa lagi desain yang diinginkan Ithar. Padahal ia sudah
melakukan riset sampai lima kali, tetapi tetap saja tidak sesuai dengan selera
klien itu.
Akhirnya, dengan berat hati, ia
memberanikan diri menyampaikan sesuatu kepada Ithar.
“Pak, sebenarnya Bapak paham
desain atau tidak? Semua yang Bapak minta sudah saya buatkan. Model gambar yang
berbeda juga sudah saya risetkan. Tapi tidak ada satu pun yang Bapak setujui. Rasanya
seperti revisi skripsi tanpa akhir.” Dhiya menarik napas, emosinya mulai
terlihat.
“Saya menyerah untuk permintaan
Bapak. Silakan cari desainer grafis lain saja. Untuk pembayaran, nanti kantor
akan mengembalikan melalui rekening.”
Ithar hanya terdiam melihat Dhiya dengan ucapan
yang menggebu-gebu. Lain halnya dengan Rahmah dia tampak syok melihat Dhiya tak
bisa mengontrol diri, padahal Dhiya bukanlah seperti itu.
Akhirnya, tanpa mengucap pamit,
Dhiya bergegas meninggalkan restoran itu, disusul oleh Rahmah yang berlari
kecil mengejarnya.
“Belum pernah aku lihat kamu
marah sehebat itu,” bisik Rahmah sambil menahan napas.
“Sudah hampir dua minggu aku urus
desainnya yang tak selesai-selesai. Orang macam apa yang banyak maunya begitu?
Aku benar-benar emosi. Dia kira mudah apa meriset ulang? Berapa banyak waktu
yang habis cuma untuk desain dia,” gerutu Dhiya, suaranya masih bergetar.
“Ya sudah… jangan terlalu diambil
hati. Sabar sedikit,” ujar Rahmah hati-hati.
“Aku tak mau sabar lagi, Rahmah,”Nada
Dhiya tegas.
Dua hari setelah kejadian itu,
suasana studio kembali normal. Dhiya tak lagi diteror panggilan telepon,
setelah ia melaporkan semuanya kepada atasannya.
Tiba-tiba telepon kembali
berdering. Suara gaduh dari seberang membuatnya terhentak. Tanpa pikir panjang,
ia segera bangkit dan bergegas menuju sumber suara tersebut.
Sesampainya di ruangan, Dhiya
duduk berhadapan dengan bos studionya.
“Klien atas nama Ithar itu
mengadu ke saya,” ucap Rifwan pelan. “Katanya kamu tidak serius mengerjakan
desain produknya. Dia juga bilang kamu yang memutuskan kontrak, padahal itu
sebenarnya wewenang saya.”
Rifwan menghela nafas sebelum
melanjutkan, “Saya sendiri bingung harus bagaimana. Uangnya belum saya
kembalikan, tapi untuk sementara saya sudah meminta Sarah yang melanjutkan
desainnya.”
“Saya sudah jelaskan kemarin sama abang, kenapa
abang percaya dia, abang tahu saya kerjanya gimana, apa pernah selama ini saya buat
salah? Bahkan design saya yang paling banyak klien minati. Saya marah karena sudah
tak masuk logika permintaannya, bang,”Dhiya membela diri.
“Dhiya mungkin kamu sedang lagi banyak masalah,
cobalah tenangkan pikiran dahulu, abang ijinkan kamu cuti dua bulan, cobalah
cari inspirasi di rumah, mana tahu setelahnya pikiranmu jadi cemerlang,”ucap
Rifwan.
“Jadi, Abang menskors saya hanya
karena klien premium itu? Baiklah, Bang… saya ikut saja keputusan Abang. Siapa
tahu dengan begitu klien itu bisa puas.”
Dhiya berdiri perlahan. Ada rasa
sesak yang tak bisa ia sembunyikan. Ia lalu meninggalkan ruangan itu dengan
perasaan iba, bukan hanya pada dirinya, tapi juga pada keadaan yang memaksanya
menerima keputusan tersebut.
Keesokan harinya, Dhiya mulai
menjalani masa skorsnya. Ia hampir tidak pernah keluar rumah selama seminggu
penuh, kecuali untuk membeli bahan masakan. Betul-betul seperti pengangguran
sejati. Hingga satu bulan berlalu, Dhiya hanya berdiam diri di rumah, lebih
banyak bertafakur dan menenangkan diri.
Melihat hal itu, para tetangga
mulai berbisik-bisik.
“Sudahlah, Dhiya itu sekarang
pengangguran. Kasihan benar. Dulu bisa unjuk gigi karena gajinya besar,
sekarang tidak punya kerja,” gumam Harlidar.
“Umurnya segitu mestinya sudah
kawin. Tapi katanya mau berkarier,” sambung Asnidar dengan nada julid.
Tak lama kemudian Dhiya keluar
rumah. Melihat kesempatan itu, Harlidar langsung memanggilnya, pura-pura
bertanya soal bunga di depan rumah, padahal niat sebenarnya bukan itu.
“Bunga yang ini beli di mana,
Dhiya? Bagus betul. Tapi lebih bagus lagi kalau yang punya bunga juga sudah ada
yang punya. Kamu tak ingin seperti kawan-kawanmu yang sudah menikah dan punya
anak?”
Asnidar menimpali tanpa menunggu
jeda. “Dhiya, laki-laki macam apa sebenarnya yang kau cari? Yang ini kau tak
mau, yang itu kau enggan. Kalah kau dengan kawan-kawan sebaya. Mereka sudah
punya anak. Kau saja di kampung ini yang belum berumah tangga.”
Dhiya menarik napas panjang, lalu
tersenyum getir.
“Duhai Ibu tetangga… biarlah
orang dengan pilihan dan nasibnya. Mengapa ibu harus memaksa? Sudah jelas aku
ini, dibilang tak tahu diri, selera tinggi pula. Sudahlah, biarkan aku dengan
jalanku.”
Asnidar mengerut dahit “Tak paham
aku dengan cara kau berpikir.”
Dhiya menatap mereka bergantian,
suaranya serius namun tetap sopan.
“Wahai Ibu tetangga, yang datang melamar itu kebanyakan orang yang pengalaman
dan cara berpikirnya jauh di bawah aku. Bagaimana aku bisa berkolaborasi dalam
rumah tangga dengan orang yang belum sejalan pola pikirnya? Bisa sakit jantung
aku tiap hari. Makan hati, cepat tua aku nanti. Hidup saja sudah banyak beban,
kenapa mesti menambah?”
Asnidar mengangkat alis, “Jadi
yang seperti apa yang kau suka? Abdi negara? Dosen? Dokter? Profesi begitu mana
mungkin mau sama kau?”
Dhiya mengangguk pelan,“Tak
muluk-muluk, Buk. Tak harus yang profesinya membanggakan orang. Aku hanya butuh
yang mengamalkan ilmu agama dan kualitas berpikirnya di atas aku. Selesai
perkara.”
“Susah kau dapat itu. Kau
berteman pun di lingkungan itu-itu saja. Mana ada yang seperti itu mendekat.”
Dhiya tersenyum tipis, antara
lelah dan ingin mengakhiri percakapan.
“Doa, Buk. Doa itu lebih dari segalanya. Ikhtiar pun tetap aku lakukan. Dan
siapa tahu, Buk… mungkin saja aku bertemu dengan orangnya pagi ini, lalu ba’da
Isya nanti malam, langsung ijab kabul.”
Nada suaranya penuh kesal, namun
sindirannya halus dan tepat sasaran.
Seminggu setelah kejadian itu, Dhiya enggan
untuk berlama-lama di rumah, dia berangkat pagi pulang sore, tapi tidak setiap
hari hanya pada waktu-waktu tertentu saja dalam perjalanan menuju toko
sepatu, Dhiya berpapasan dengan pria yang membuatnya nelangsa. Andai mereka
bertemu di tempat sepi, mungkin sudah ia jambak saja rambut pria itu.
Pria itu, langsung mengenalinya dan mencoba untuk
basa basi, tapi Dhiya enggan untuk menggubrisnya.
Di sisi lain, Ithar sama sekali
belum mengetahui bahwa Dhiya diskors gara-gara dirinya. Hingga akhirnya, saat
ia bertemu Rifwan, barulah cerita itu terungkap.
“Pantas saja kemarin waktu
ketemu, matanya seperti mau menerkam aku,” ujar Ithar setelah mendengar
penjelasan Rifwan.
Rifwan hanya tertawa. “Hahaha…”
“Bang, tak perlulah sampai
segitunya. Gara-gara aku dia sampai diskors. Aku jadi tak enak, bang… merasa
bersalah pula jadinya,” ucap Ithar, suaranya berubah pelan.
“Tak apa, bro. Biar dia
menjernihkan pikiran dulu,” jawab Rifwan.
Ithar menggeleng kecil, “Abang
tahu tidak? Seumur-umur, baru kali itu ada orang yang berani marah dan memaki
aku, bang. Si Dhiya, rekan abang itu. Mana ada orang mau memarahi aku? Biasanya
mereka cuma manut di depan aku.”
Rifwan menyindir sambil tersenyum, “Ya lo itu,
kadang dermawannya kebablasan. Mentang-mentang resto lo banyak cabang,
dikit-dikit kawan datang makan gratis.”
“Kan itu kalau aku lagi di resto,
bang. Kalau aku nggak ada, mereka bayar lah,” bela Ithar.
Ia kemudian menyandarkan tubuh,
suaranya lebih serius, “Kupikir-pikir, bang… hidup aku ini tak ada pengontrol.
Kerja kadang tak kenal waktu. Tak ada yang mengingatkan, dan tak ada yang
berani menegur kecuali keluarga. Jadi kalau aku menikah nanti, minimal istriku
bisa mengingatkan aku, bang.”
Rifwan menyeringai, “Kata Arkan,
lo dekat sama dosen muda itu. Lebih saintis hidup lo nanti, pasti disiplin.”
Ithar cepat-cepat mengibaskan
tangan. “Tak lah, bang. Kalau pun disuruh memilih… lebih mending si Dhiya yang
pemarah itu jadi alarm-ku.”
Rifwan langsung tertawa terbahak,
“Hahaha! Mau? Kalau iya, abang bantu!”
Ithar buru-buru menolak, “Tidak,
bang. Itu cuma perumpamaan. Kalau soal menikah, tentu aku pilih yang paham
kerjaku, yang bisa mengingatkanku dengan cara baik. Bukan marah-marah begitu.
Syok aku, bang.”
Setelah selesai bercakap-cakap dengan Rifwan,
Ithar pun pulang ke rumah diperjalanan dia memikirkan tentang pembicaraannya
tadi, apa betul dia mesti mencari isteri, apa betul dia butuh untuk pengontrol.
Tak berapa lama ponselnya berdering, ibunya menelpon untuk mengajaknya bertemu
pada hari Sabtu. Dalam hati dia bergeming, “Ibu pasti bertanya terus soal
menikah, nanti aku yakin dijodohkan lagi, kali ini aku terima saja,”
Hari yang ditunggu pun akhirnya
datang. Ithar duduk bersama ibundanya, mereka berbincang tentang pekerjaan dan
kondisi rumah. Kali ini, sang ibu tidak lagi berusaha menjodohkannya dengan
siapa pun. Ia sudah lelah melakukannya, tapi hati kecilnya tetap ingin tahu, adakah
seorang gadis yang menarik perhatian putranya.
“Ibu mau tanya… tak adakah Ithar
punya kawan perempuan? Bolehlah ibu berjumpa,” ucap ibunya lembut.
“Ada banyak, Bu. Bermacam-macam
profesinya,” jawab Ithar santai.
“Adakah yang mau Ithar kenalkan
pada Ibu?”
“Ada, Bu. Tapi dia pemarah… itu
kawan perempuan yang paling berkesan betul.” Seketika wajah Dhiya muncul jelas
di kepalanya, meski ia sendiri belum paham arah pembicaraan sang ibu.
“Bolehlah dia ke sini, bersua
dengan Ibu,” pinta ibunya.
“Mana mau dia, Bu. Melihat saya
saja seperti hendak menerkam.”
“Kalau begitu… yang lain ada
tidak?”
“Ada, Bu. Tapi yang paling aneh
ya yang itu.”
“Cobalah ajak dia bersua Ibu.
Ingin juga Ibu berkenalan dengannya.”
“Nantilah, Bu… saya bujuk dulu,”
ujar Ithar akhirnya.
Dua bulan berlalu, tetapi Dhiya
belum juga dipanggil kembali untuk bekerja. Ia mulai pesimis. Bahkan untuk
menelepon Rifwan saja ia gengsi, merasa harga dirinya sudah terlanjur jatuh.
Lambat laun, amarah pun tumbuh dalam hatinya, terutama kepada Ithar. Ia ingin
meminta penjelasan dan memintanya memulihkan nama baiknya di depan Rifwan.
Dhiya akhirnya merencanakan untuk
datang ke restoran Ithar bersama Rahmah. Sebelum berangkat, ia sudah lebih dulu
mengabari Ithar.
Di sisi lain, Ithar entah
bagaimana malah mengajak ibunya ikut bertemu. Ia sendiri tak mengerti apa yang
dipikirkannya, seperti sedang menggali lubang masalah.
Tak lama kemudian, Dhiya sudah
tiba di restoran. Wajahnya yang awalnya garang mendadak melunak ketika melihat
seorang ibu tersenyum hangat ke arahnya.
“Ini Dhiya, ya? Temannya Ithar?”
sapa Nur Asniah, ibunda Ithar.
“Iya, Buk. Salam kenal. Ini kawan
saya, Rahmah,” jawab Dhiya sambil menjabat tangan sang ibu.
Rahmah langsung membisik, “Gue
mundur, Dhiya. Kalau udah melibatkan emak-emak, kita tak bisa lawan si Ithar.”
“Dhiya dan Rahmah belum makan?
Makan dulu,” ucap Nur Asniah ramah.
“Sudah, Buk,” jawab mereka
serentak.
“Rahmah sudah menikah?” tanya Nur
Asniah.
“Belum, Buk. Tapi mungkin dalam
waktu dekat,” sahut Rahmah sopan.
Kemudian sang ibu beralih pada
Dhiya,“Dhiya, boleh tidak Ibu meminta sesuatu?”
“Boleh, Buk.”
“Jika tidak keberatan… Ibu ingin
Dhiya mencoba bertaaruf dengan Ithar.”
Spontan Dhiya dan Ithar sama-sama
tertegun. Mereka benar-benar tak menyangka “serangan” seperti itu datang.
Bagaimana bisa dua orang yang selalu bertentang justru hendak disatukan? Yang
ada di kepala mereka justru bayangan perdebatan setiap hari.
“Boleh, Buk,” jawab Dhiya
tiba-tiba.
Rahmah hampir tersedak, sementara
Ithar membeku di tempat.
“Alhamdulillah. Semoga cocok ya,
Nak,” ucap Nur Asniah riang.
Tak ada yang tahu apa yang
sebenarnya dipikirkan Dhiya sampai ia menerima begitu saja perjodohan itu.
Setelah pertemuan selesai dan mereka dalam perjalanan pulang, Rahmah langsung
menatap sahabatnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Dhiya… kau ini stres atau sudah
mulai sakit jiwa?”
“Tidak. Aku memang mau begitu.
Ngapain aku tolak? Ithar yang menyebalkan itu kan bisa menjamin hidupku.
Gengsiku pun naik di mata orang-orang, dan aku tak perlu susah-susah kerja,”
jawab Dhiya santai.
“Sudah hilang kendalikah kau?
Hidup dengan orang perfeksionis dan menyebalkan itu tak masalah?”
“Tak masalah. Aku sudah pusing
dengan hidupku yang sekarang.”
“Entahlah… tak paham aku dengan
kau,” gumam Rahmah, menggeleng tak percaya.
Waktu berlalu tanpa banyak riak.
Proses pendekatan berjalan hambar, seadanya, seperti dua orang yang hanya
menjalankan kewajiban. Ithar tetap dengan sikap perfeksionisnya, dan Dhiya
tetap bersikap dingin, seakan semua ini hanyalah transaksi membahagiakan orang
tua.
Hingga suatu malam, sepekan
sebelum hari lamaran, Dhiya duduk sendirian di meja kerjanya. Di depannya layar
laptop menyala dengan desain terakhir yang ia buat, sebuah ilustrasi pasangan
yang saling menunduk di hadapan Allah, bukan saling menuntut di hadapan
manusia.
Ia terpaku. Tangannya gemetar
sedikit.
“Apa aku benar-benar ingin
hidup seperti ini? Hidup tanpa rasa, tanpa doa, tanpa arah?”
Hingga ia teringat sebuah nasihat
gurunya ketika itu, “pernikahan itu bukan tempat untuk pelarian, apalagi hanya
karena gengsi. Pernikahan itu rumah, tempat perlindungan dan kasih sayang,”
Malam itu, untuk pertama kalinya,
Dhiya menangis. Bukan karena sedih, tetapi karena ia mulai sadar bahwa hidupnya
tidak harus terus berada dalam tekanan dan penolakan diri. Air matanya jatuh
sebagai bentuk pengakuan bahwa selama ini ia terlalu memendam segalanya.
Lamunannya buyar ketika ponselnya
berbunyi. Di layar terpampang pesan singkat:
“Dhiya, bolehkah saya bicara
sebentar? Bukan tentang persiapan. Tapi perkara hati.”
Dhiya tertegun. Dadanya berdebar
tanpa bisa ia kendalikan.
Mereka akhirnya bertemu di
mushalla kecil dekat rumah, masing-masing didampingi oleh penasihat. Ithar
datang tanpa suara, tanpa kesombongan yang biasanya melekat. Wajahnya letih,
namun jujur dan apa adanya.
“Kata Rahmah… kau menyetujuiku
karena ingin bebas dari tekanan. Bukan karena memilihku. Benar begitu?” tanya
Ithar tenang.
Dhiya menunduk, “Saya tak mau
membahasnya. Jalani saja keinginan orang tua.”
Ithar mengangguk pelan, “Baik.
Tapi… apa kita siap membangun rumah tangga tanpa ruh?”
Semua yang hadir terdiam. Kalimat
itu menampar hati.
“Aku tidak ingin menjadi
pelarianmu,” lanjut Ithar.
Napas Dhiya tercekat. Kata-kata
itu menembus bagian terdalam jiwanya.
“Apa… kau akan menolakku?”
bisiknya hampir tak terdengar.
Ithar mengubah posisi duduk,
menunduk, lalu berdiri perlahan.
“Aku tak bisa melaksanakan perjodohan ini jika tujuannya bukan karena Allah.”
Kalimat itu seperti membuka tirai
gelap dalam hati Dhiya. Suara ejekan tetangganya, tekanan hidup, rasa rendah
diri, semua kembali memenuhi kepalanya dalam sekejap.
Air matanya jatuh lebih deras.
Dengan kedua tangan menutupi wajah, ia berkata lirih,
“Bang Ithar… aku takut memilih yang salah. Takut hidupku kacau. Sampai aku tak
yakin lagi pada diriku sendiri.”
Ithar merendahkan suaranya,
begitu lembut hingga menusuk relung batin.
“Kita ini hanya manusia, Dhiya. Kita jalani apa yang Allah perintahkan, dan
selebihnya Allah yang akan menuntun. Kalau kau percaya tujuan kita ikhlas
karena Allah… insyaAllah langkah kita akan baik.”
Tangis Dhiya pecah. Dan untuk
pertama kalinya, ia melihat bahwa laki-laki yang selama ini ia anggap
menyebalkan justru mampu memberikan ketenangan yang tak pernah ia rasakan.
Hening menyelimuti mereka
beberapa saat, sebelum akhirnya Dhiya mengangkat wajahnya, dengan mata masih
basah.
“Saya ingin belajar… menjalaninya
dengan ikhlas. Apa abang bersedia membimbing saya?”
Wajah Ithar melunak, jauh dari
keras kepala yang biasa terlihat, “Insya Allah,”
Malam itu mereka pulang dengan
hati lebih ringan, bukan karena semuanya sudah terjawab, tetapi karena kini
mereka berjalan dengan tujuan yang sama, belajar menapaki jalan-Nya bersama.
Komentar
Posting Komentar