BAPAK NELAYAN JUGA BISA JADI WAKIL RAKYAT
Bapak nelayan ingin pula jadi pejabat, ingin pula jadi birokrat, ingin pula jadi wakil rakyat, seperti orang-orang, namun apa daya bukan muasabab karena tak bersekolah bapak nelayan tak menjabat, bukan pula karena malas belajar, tapi ini soal pilihan.
Iya pilihan. Pilihan karena kondisi. Kalau saja dahulu pak nelayan bisa berbekal seperti teman sejawat, yg tak perlu risau soal perihal isi perut, mungkin sekarang sudah jadi birokrat.
Tapi ya sudahlah, namanya juga sudah berlalu.
sungguhnya pak nelayan tak kan risau soal nasibnya yang belum bisa jadi pejabat, birokrat ataupun wakil rakyat, yang dia risaukan, kalau pagi ini jaring pukat kosong melompong. Tak ad ikan satupun yang terjebak. Minimal ikan tandeman, atau ikan pinang-pinang, dua ikan itu masih bisa dijual kepada emak-emak yang sudah menunggu di tepi pantai, walau 10 ribu isinya setengah plastik hitam kecil, atau kalau nasib kurg baik, pak nelayan bisa dapat ikan maco kecil, yang kalau dimakan sering buat tersedak di tenggorokan. Harus melompat dahulu agar tulangnya bisa tertelan. Kalau tulangnya masih bertengger harus cepat-cepat dibawa ke puskesmas terdekat, jika tidak akan terus mengganjal, susah menelan dan sakit.
Kalau pun nanti tak terjaring ikan maco, ubur-ubur pun juga boleh menumpang. Uuuuuh kesal nggak tuh. sudah susah-susah menarik, sampai-sampai pinggang itu ramping saking keras dan beratnya tarikan pukat. Selama satu setengah jam lagi menarik pukat bersama 10 org lebih. Untung-untung kalau dapat banyak bisa terjual Rp 300 ribu. Jika terjual cuma Rp 50 ribu, ya bagi lah 10 orang, masing-masing hanya dapatRp 5 ribu. Jangankan untuk anak bini di rumah, untuk beli segelas kopi dan satu gorengan demi mengganjal perut yang belum terisi sejak tadi malam saja tak cukup.
Komentar
Posting Komentar