Kisah Hidup Pedagang Sayur Keliling


"Prestasi Anak Membuatnya Cemas tak Mampu Wujudkan Cita-cita Sang Anak"

" Segala sesuatu berawal dari niat," ungkap  Sarmin Muslim.

Merawat mimpi di tengah hiruk pikuk cobaan tak membuat Sarmin Muslim,  bapak dari tiga orang anak ini menyerah.  Walaupun punya keterbatasan dipenglihatannya.  Bekerja keras sebagai pedagang sayur keliling,  dengan semua risiko yang ia lewati,  karena penglihatan tak maksimal. Seringkali jatuh atau menabrak mobil saat sedang membawa dagangan,  namun untung ada istri yang selalu setia menemani. Pengorbanan ini sedikit terbayar lantaran anaknya mampu meraih berbagai prestasi disegala bidang. 

TERLIHAT sebuah rumah sederhana yang berjarak dua meter dari rel kereta api. Setiap 15 menit kereta api lewat,  menciptakan suara gemuruh dan getaran,  yang membuat gaduh seisi rumah. 

Rumah ini berbentuk segi panjang, berbahan kayu dan triplek, dipolesi cat putih. Didalamnya terdapat tiga kamar yang dibatasi oleh dinding triplek. Di ruang tengah,  tampak anak kecil yang sedang  berlarian, sesekali ia duduk kemudian melompat. Bocah kecil itu anak bungsu dari Sarmin Muslim, yang sedang aktif bergerak. 

Lain halnya jika keluar rumah,  akan ditemui sebuah sungai kecil dengan lebar  lebih kurang tiga meter yang diberi batasan semen sehingga menyerupai selokan. Airnya bersih dan arusnyapun deras, menambah suasana asri lingkungan tersebut. Sungai kecil ini yang biasa dimanfaatkan keluarga Sarmin Muslim untuk berwudhu dan mandi. 

Perihal lokasi bangunan, bukanlah milik Sarmin Muslim dan keluarga,  jika pemilik tanah datang,  suka tak suka rumahnya harus di robohkan." Ini tanah PJKA,  saya baru beberapa tahun tinggal di sini. Jika orang PJKA ingin membangun di sini maka kami harus rela rumah ini dihancurkan, "ujarnya.

Ia pun tak tahu akan pindah ke mana,  jika rumahnya digusur. Sebab dari segi biaya tak mencukupi,  apalagi harus kontrak atau bangun rumah lagi. "Profesi saya cuma pedagang keliling biasa, hasilnya pun,  cukup untuk makan dan modal berdagang saja. Sedangkan kesehatan saya semakin hari semakin lemah, yang terfikir saat ini,  kalau kondisi seperti ini terus,  bagaimana dengan kelanjutan sekolah anak-anak, "ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. 

Saat ini anaknya masih sangat membutuhkan biaya untuk pendidikan,  apalagi yang sulung,  sekarang sedang kuliah di kedokteran Unand."Anak saya tiga orang, yang pertama kuliah sedang jalan tahun kedua,  kebutuhannya pun juga banyak,  namun karena ia berprestasi,  segala kebutuhan pendidikannya bisa ditutupi dengan beasiswa. Dia juga ikut membantu saya berdakwah dan mengajar pendidikan Alquran. Sedangkan anak kedua Masih SMK dan anak ketiga balita, "paparnya. 

Walaupun hidup  serba kekurangan ia tak pernah mengeluh, karena kemampuan dan kapasitas otak anaknya yang selalu menonjol dan mengantarkan meraih berbagai macam perlombaan,  serta meraih gelar siswa berprestasi, pemenang lomba debat internasional antar Kota Padang, dan tingkat perguruan tinggi. "Daya ingat anak saya ini lumayan kuat, dia tak perlu mengulang pelajaran,  cukup dengan memperhatikan guru itu sudah mampu tinggal di otaknya. Namun yang paling penting hafalan Alqurannya yang membuat daya ingatnya semakin tajam, itu memang terbukti," ucapnya. 

Ia pun menceritakan lika-liku hidupnya,  sampai menjadikannya  seorang ayah yang mampu mendorong anaknya menjadi seorang yang berprestasi. 

Berawal dari keluarga yang serba kekurangan, walau demikian ia punya daya ingat yang tajam,  mungkin itu lah yang sekarang turun ke anaknya." Ayah saya punya 4 orang anak laki-laki,  namun hanya saya yang memiliki kekurangan,"ujarnya. 

Tak maksimalnya dalam penglihatan membuat pria 47 tahun ini,  sering dicemoohkan teman-teman,  sewaktu masih sekolah dasar. Biasanya temannya selalu melemparkan koin uang, dan menyuruh dia untuk mengumpulkan,  karena memang butuh uang,  terpaksa ia meraba,  dan jongkok kebawah meja, kadangkala tangannya terbentur kerasnya meja. " Saya pergi ke sekolah itu lewat pematang sawah,  hampir 10 kali jatuh,  kadang juga dicemoohkan teman,  sampai dilempar uang receh,  dan saya memungutnya," ucapnya.

Kedua matanya ini memang tak mampu melihaat optimal,  karena sejak lahir  sudah demikian. Dokter sempat sarankan untuk dioperasi sebelum usia tujuh tahun,  karena sulitnya biaya membuatnya mengundurkan diri untuk dioperasi. "Saya dan keluarga tinggal di rantau orang, dengan keterbatasan biaya saya tak bisa obati penglihatan," terangnya. 

Karena kekurangannya,  ayahnya tak yakin untuk menyekolahkan sang anak. Akhirnya Sarmin hanya bisa mengamati dan belajar dari luar jendela sekolah." Saya hanya mendengarkan guru mengajar dari luar jendela,  tanpa sengaja saya ikut menjawab semua pertanyaannya,  sampai ketahuan,  saya dipanggil,  kemudian di rekomendasikan untuk sekolah. Semua fasiitas dan kebutuhan sekolah ibu guru itu yang nanggung. Waktu itu usia saya sudah 10 tahun lebih. "ungkapnya. 

Uniknya ia belajar hanya mengandalkan daya ingat saja,  sebab kekurangan dalam penglihatan membuat dia tak bisa menulis dan membaca,  terpaksa mendengarkan guru. "Saya hanya meraba saja, belajarpun saat guru menerangkan. Dengan perasaan saya analisa semua yang dijelaskan guru. Ketika ujian,  apa yang di terangkan masih saya ingat," ujarnya. 

Sampai dia tamat Sekolah Dasar, orang tua laki laki meninggal dunia. Akhirnya Sarmin menganggur dua tahun,  setelah itu baru melanjutkan ke Tsanawiyah,  dan tinggal di Masjid,  bersama temannya yang seperjuangan. 

Karena sulitnya biaya, Sarmin berhenti sekolah selama satu tahun.  selama itu ia kumpulkan uang untuk biaya hidup. " Pernah tertangkap basah oleh guru, saat sedang bekerja. Ditanya kenapa tidak sekolah,  saya jelaskan kalau biaya hidup tidak punya. Akhir tahun saya kembali ke sekolah sampai tamat,  dan dapat juara dua waktu itu," ucapnya. 

Setelah tamat Tsanawiyah,  Sarminpun merantau ke Koto Baru Solok. Melanjutkan studi ke MAN Koto Baru Solok. Waktu itu usianya sudah 20 tahun,  jadi antara guru dan dia sudah sama besar saja." Tetap saja sistem belajar saya meraba-raba. Buku saya bawa tapi tidak mencatat,  apa yang dibilang guru tak kan pernah hilang sampai saya tamat.  Ada kendala pada waktu itu,  jika ingin lulus saya harus punya ijazah komputer. Bagaimana caranya saya  belajar komputer,  sedangkan menulis saja tidak nampak. Akhirnya dibantu lah oleh seorang guru yang kebetulan dia sebaya dengan saya,  dan punya perasaan juga untuk saya,  dari situlah dapat ijazah komputer, "ucapnya sambil tersenyum. 

Pengorbanannya pun tak sampai di situ, ketika ujian akhir, untuk mata pelajaran bahasa Inggris dan matematika. Dia tak bisa mengisi lembaran soal tersebut,  bukan karena tidak paham,  tapi tidak tahu apa isi soalnya,  karena tidak nampak. Minta tolong ke teman,  yang kebetulan duduk dibelakangnya.  Teman tersebut sang juara kelas. "Saya lobi dia,  masa kamu tega membiarkan saya tidak lulus. Akhir kata, ia bantu mengisikan semua lembar jawaban saya,  lulus lah kami," ungkapnya. 

Tak beberapa lama, cerita Sarmin terhenti karena bisingnya suara kereta api yang lewat. "Kita dahulukan kereta ini lewat dulu," ujar Samir.

Memang kondisinya seperti gempa,  tanah rumah Sarmin bergetar ketika dilewati kereta api. " Seperti inilah yang kami rasakan setiap hari," ungkapnya. 

Ia kembali melanjutkan cerita,  sembari memasang topi yang berwarna hijau. 

Sebenarnya Sarmin bisa membaca,  tapi dalam batasan waktu yang singkat,  lebih dari itu matanya sakit dan kepalanya pusing. " Tak lebih dari setengah jam membaca,  mata saya sudah berputar," ujarnya. 

Pendidikan yang ia tempuh selanjutnya adalah kuliah, namun melihat kondisinya yang tak memungkinkan lagi, dan entah sampai kapan juga mampu orang menolong,  ia urungkan niat. Saat itu timbul pikirannya untuk berumah tangga. Harapannya jika punya anak nanti,  bisa mambangkiak batang tarandam. " Niat saya sudah kokoh untuk menikah di usia 23 tahun,  memang terlalu cepat,  tapi tujuan saya hanya satu menyemppurnakan agama dan menjadi seorang suami dan ayah dari istri dan anak yang sholeh serta solehah. Setiap hari saya berdoa supaya Allah menganugerahkan anak yang baik, "jelasnya. 

Akhirnya lahirlah anak yang pertama,  waktu itu kondisi kehidupannya memang miskin,  tinggal di sebuah pondok kayu dekat semak." Saya sudah berkali-kali pindah, dan sering juga berganti pekerjaan,  sampai pernah kecelakaan dan istri saya kakinya patah,"terangnya.

Menurutnya hijrah itu merubah nasib,  setiap pekerjaan dan tempat yang ia tempati,  selalu memberikan cobaan pelajaran untuknya dan keluarga."Sampai saya pernah bekerja membersihkan rel kereta api dan mengangkat besinya,  karena penglihatan kurang jelas,  seringkali terbentur atau terjepit rel kereta, "ucapnya. 

Baginya anak adalah segalanya, apapun akan dia usahakan, termasuk berjualan sambil mengendarai motor." Sekarang saya bekerja sebagai pendakwah,  tapi kalau naik motor itu,  harus dibonceng. Sampai sekarang kondisi saya sudah semakin lemah. Sekarang yang berjualan hanya istri  saja," ungkapnya. 

Ia berharap anaknya bisa menjadi orang sukses dengan akhlak yang baik. Sebab setiap harinya ia selalu berusaha mendidik dengan disiplin,  sampai anaknya terbiasa melaksanakan kewajibannya. " Saya selalu disiplin anak untuk urusan agama dan akademik,  tapi untuk pilihan pendidikan saya serahkan kepadanya apa yang terbaik untuk dirinya," ucapnya. 

Namun ketika anaknya mendapatkan prestasi sebagai siswa terbaik,  bukan  bahagia,  malah menangis taku. Sebab sebagai seorang ayah apakah akan sanggup membiayai anak sampai selesai." Saya nangis waktu itu, karena ketakutan saya anak tak sampai sekolah dan tak bisa melanjutkan cita-citanya, "tuturnya. 

Sampai hari ini ia hanya berharap, suatu hari nanti ada seseorang yang berbaik hati memberikan dia pekerjaan untuk mengembala sapi,  sehingga dari upah itu ia bisa membantu isterinya untuk membiayai sekolah anaknya. "Kalau berjualan saya tak kuat lagi bawa motor, sekarang hanya fokus berdakwah saja. Tapi kalau dapat saya ingin sekali punya ternak sapi," tukasnya.

Komentar

postingan populer